Minggu, 06 Juli 2014

Sekilas Pilpres 2014 Di Hong Kong 2014





Pemilihan Presiden Republik Indonesia (Pilpres) bagi warga negara Indonesia di Hong Kong digelar lebih awal pada hari Minggu, 6 Juli 2014. Ribuan orang baik yang bekerja di sektor rumah tangga ataupun sektor-sektor lainnya berduyun-duyun ke Victoria Park, Causeway Bay dimana TPS-TPS telah disiapkan.
 
Kemegahan tempat pemungutan suara warga Indonesia di Hong Kong, itu terlihat dari baliho yang dipajang sepanjang jalan menuju lapangan rumput Victoria Park. Tempat-tempat pemungutan suara sudah disiapkan sejak Sabtu sore. Sama seperti saat Pilihan Legislatif kemarin, kali ini juga disediakan 13 TPS. Namun bedanya antusiasme menggunakan hak pilih di Caleg kemarin sangat rendah bahkan yang datang ke TPS hanya sekitar 6000 orang, sedangkan di Pilpres kali ini antusiasme memilih bisa dikatakan tinggi yaitu mencapai 25.000 orang.  

Meskipun sempat diguyur hujan namun tidak menyurutkan niat dan antusias orang-orang yang ingin berpartisipasi dalam Pemilihan Presiden tahun ini.

Ijin Bukan Alasan Menolak Hak Pemilih

Kemarin, setelah saya meninggalkan lapangan sekitar jam 4.30 sore, saya mendapatkan laporan adanya huru-hara antara pengantri dan panitia. Pasalnya jam 5 sore panitia menutup waktu pemilihan sementara ratusan pemilih masih antri di depan. Pengantri tidak terima dan terjadi adu argumen bahkan pemilih merobohkan pagar pembatas karena emosi.

Seketika beberapa orang menghubungi saya terkait penggunakaan Victoria Park.  Panitia mengatakan bahwa ijin Victoria Park hanya dibatasi sampai jam 5 saja.

Bisa dimaklumi banyak buruh migran tidak paham prosedur penggunaan fasilitas di Victoria Park. Bahkan sebagian besar berfikir hanya Perwakilan Republik Indonesia di Hong Kong atau KJRI saja atau organisasi dibawah naungan KJRI yang bisa menggunakan fasilitas tempat seperti lapangan atau gedung di Hong Kong. Informasi ini tidak benar.

Di Hong Kong organisasi yang terdaftar dibawah pemerintahan Hong Kong baik melalui Register of Trade Union (Serikat Buruh), Register of Society atau charity (lembaga sosial) bisa memakai  tempat-tempat publik  seperti lapangan rumput di Victoria Park.

Caranya, organisasi atau lembaga tersebut harus mengajukan permohonan untuk menggunakan tempat yang telah dipilih ke Departemen rekreasi dan kebudayaan (The Leisure and Cultural Services Department). Waktu yang diberikan untuk mengajukan permohonan ini antara 1- 3 bulan sebelum kegiatan. Jika permohonan ini disahkan maka pengguna diijinkan memakai lokasi yang diminta (misalnya Lapangan Rumput) dari pukul 8.00 pagi - 7.00 sore, namun jika ada sound system hanya boleh dinyalakan sekitar pukul 9.30 pagi.

Terkait alasan panitia pemilu menutup TPS jam 5 sore, di satu sisi  memang sudah diumumkan namun disisi lain sebenarnya tidak toleran terhadap warga negara Indonesia yang sedang antusias menggunakan hak pilihnya.

Benarkah panitia tidak bisa memperpanjang jam pemilihan hanya karena ijin? Menurut saya itu tidak benar. Victoria Park bisa digunakan sampai pukul 7 malam. Kalaupun misalnya KJRI terlanjut minta ijin cuma sampai jam 5 atau 6 sore maka saya yakin KJRI sebagai perwakilan negara dengan mudah bisa bernegosiasi dengan Menejemen Victoria Park untuk perpanjangan. Masalahnya, apakah KJRI mau atau tidak?

Jika tidak ingin macet, maka buka TPS-TPS di titik-titik kumpul buruh migran

Jika ingin efektif dan efisien dan mengurangi kemacetan proses memilih, seharusnya KJRI dan Panitia Pemilu bisa menyediakan beberapa TPS-TPS di titik-titik kumpul buruh migran. Saya membayangkan minimum di New Territories), Kowloon dan Hong Kong. Karena hanya ada di satu titik yaitu di Hong Kong (Victoria Park), ya jangan menyalahkan kalau semua tumplek jadi satu di sini sehingga antrian mengular dan menuai komplain.

Saya sendiri yang tiba di lokasi jam 12 siang setelah hujan reda, menyaksikan antrian yang sudah panjang mulai dari pintu masuk Victoria Park menuju area pintu masuk Tempat Pemilihan Suara (TPS). Di depan pagar area TPS tertulis "PINTU MASUK PEMILU 2014" namun orang-orang tetap bingung dimana harus antri, antara peserta pemilu yang memiliki undangan dan antrian untuk yang tidak memiliki undangan dan hanya memiliki KTP.

Diluar TPS memang ada 3 barisan yang mengular, sedangkan panitia diluar hanya terlihat 3-4 orang dan harus melayani ratusan pengantri yang tidak tahu lokasi pintu masuk bagi yang sudah punya undangan dan tidak punya  undangan. Sepertinya panitia juga tahu jika jumlah peserta pemilu yang tidak memiliki undangan lebih banyak hal ini terlihat jelas dari letak antrian ditengah yang begitu panjang dan berjubel. Saya sendiri yang sedang antri juga ditanyai para pemilih yang bingung.
 
Saya membayangkan mungkin akan lebih mudah jika panitia pemilu menyedikan Sign Board (Papan Petunjuk) dan gambar peta prosedur Pemilu diluar TPS, juga diberi panitia-panitia pengarah. Sehingga pemilih bisa membaca petunjuk dan tahu harus antri di sebelah mana dan tidak berjubel.

Sign board akan lebih mempermudah pemilih untuk tahu tempat antriannya dan panitia juga akan lebih mudah untuk mengarahkan. Selain itu, saya juga menemukan ada beberapa panitia yang tidak menuliskan namanya di kartu tanda pengenal yang terpasang di dada sehingga buruh migran tidak tahu mereka ketika diperlakukan  panitia yang tidak sopan atau membentak-membentak.

Jumlah Panitia dan Jumlah TPS Tidak Mencukupi

Dari pintu masuk sampai menuju tenda pertama butuh waktu sekitar 2 jam untuk menuju tenda pertama. Hanya ada 13 orang panitia yang duduk didepan komputer untuk mendata para pencoblos yang hanya memiliki KTP saja dan memberikan nomor TPS. Ditenda pertama ini kita harus memberikan KTP untuk mendapatkan nomer TPS. Ada sekitar 200 oang yang mengantri didalam tenda putih tempat pendataan pertama.

Setalah mendapatkan nomer TPS kita juga harus mengantri lagi untuk menuju tempat pencoblosan di TPS yang sudah ditentukan dan tertera dikertas yang kita dapatkan dari tenda pertama.  Sekitar 200 orang yang mengantri dari tenda pertama menuju tenda kedua yaitu TPS dan masih harus mengantri sekitar 1 jam untuk mendapatkan kertas suara.  Tenda kedua ini ada 2 orang yang menghadap komputer dan menanyakan KTP lagi dan meminta kertas bukti nomer TPS yang sudah diberikan dan 2 orang memberikan kertas suara dan dibelakangnya ada 3 orang PAWASLU, 1 orang memberikan tanda tinta sebagai bukti pencoblos dan dibelakan serta 1 orang yang mengarahkan untuk masuk ke ruang pencoblosan yang berjumlah 6 bilik suara. Jadi ada 9 orang termasuk PAWASLU.
Jadi bisa dibayangkan mengapa antrian begitu lama dan panjang.
  
Jangan menyalahkan pemilih

Kemarahan peserta pemilu di Hong Kong yang ramai di media sosial bukan karena masalah ada pihak yang berusaha untuk mengacaukan pemilu, tapi dari awal penataan tempat dan panitia yang tidak memadai bagi peserta pemilu di Hong Kong. BMI yang menkhususkan niat mereka untuk mengikuti pemilu demi sebuah perubahan yang diharapkan sekian tahun adalah sesuatu semangat yang harus kita hargai. Mereka rela kepanasan dan antri yang panjang hanya untuk bisa mencoblos. Jika kericuhan tidak dimulai dari pelayanan panitia mungkin BMI tidak akan melakukan demo ditempat.

Peserta pemilu yang sudah antri dari jam 4 hanya ingin diperbolehkan untuk menggunakan hak suaranya, namun karena panitia bersikukuh untuk menutup TPS maka tidak heran jika kemarahan itu tidak bisa dibendung. Pada jam 4 sore saya melihat antrian dialihkan dari tengah lapangan menjadi diluar pintu, sehingga para peserta pemilu yang datang pada jam 4 mereka kebingungan karena adanya informasi TPS akan ditutup jam 5. sedangkan jumlah antrian dari lapangan rumput sampai keluar pintu lapangan rumput masih cukup panjang. Hanya ada 1 panitia diluar pintu masuk Lapangan Rumput yang memberikan informasi tentang tempat antrian bagi pemilik Surat Undangan dan tanpa surat undangan atau hanya menggunakan KTP saja.

Jika panitia penyelenggara pemilu tahu dan memprediksi meningkatnya jumlah peserta pemilu presiden tahun ini maka mereka dari awal sudah menyiapkan segala kebutuhan baik itu logistik maupun tenaga. Jika dana yang disediakan kurang setidaknya ada beberapa cara yang bisa digunakan untuk memastikan jumlah TPS diperbanyak. Tidak perlu memasang tenda putih besar yang tentu memakan biaya yang cukup banyak. Begitupun tenaga yang dibutuhkan, saya yakin banyak teman-teman yang mau menjadi tenaga sukarelawan untuk memastikan menyukseskan pemilu di Hong Kong. Meskipun tenaga ini hanya bagian panitia keamanan dan informasi untuk diluar TPS paling tidak bisa membantu memperlancar pemilu di Hong Kong.

KJRI dan Panitia Pemilu di Hong Kong kurang Memahami Kondisi BMI

Buruh Migran di Hong Kong mayoritas adalah perempuan dan bekerja di sektor rumah tangga. Mereka tersebar dibeberapa wilayah di Hong Kong. Menurut data survey yang dilakukan oleh IMWU tahun 2011 jumlah terbesar BMI di Hong berada di daerah Kowloon dan lainya tersebar di daerah Hong Kong, New territories, Taipo, Shatin dll.

BMI di Hong Kong tidak semuanya mendapatkan libur hari minggu, biasanya mereka akan meminta ijin jauh-jauh hari kepada majikan untuk mendapatkan libur hari minggu jika ada acara yang dianggap sangat penting seperti sholat Idul Fitri atau Pemilu di Hong Kong.

Tidak semua majikan di Hong Kong akan memberikan libur pada pekerjanya 24 jam, ada bebarapa teman-teman BMI yang harus melakukan pekerjaan dulu sebelum libur. Biasanya mereka akan keluar rumah sekitar jam 9 atau jam 10 dan pulang ke rumah sebelum jam 8 atau jam 9.  Untuk itu kenapa daerah Victoria Park akan sepi jika waktu sudah menunjukan jam 7 atau jam 8 malam.

Buruh migran yang bekerja disektor rumah tangga tidak semuanya bisa keluar rumah bebas pada hari biasa atau keluar untuk belanja. Jika mereka mendapatkan surat undangan pemilu tidak semuanya bisa membalas atau mengirimkan lewat kantor pos pada hari biasa, mengingat tempat kantor pos juga jauh dari tempat tinggal mereka jikapun ada yang dekat itu harus keluar dari rumah dan harus meminta ijin dari majikan terlebih dahulu.

Jika banyak BMI yang tidak menerima surat undangan dan pihak KJRI menjelaskan karena banyak BMI yang berpindah tempat sehingga surat tidak diterima maka pertanyaan kembali kepada pemerintah Indonesia dan KJRI Hong Kong, selama ini apakah tidak ada data-data alamat tempat kerja BMI yang baru? mengingat setiap 2 tahun sekali BMI akan mengurus kontrak kerja yang baru dan harus mendapatkan validasi pengesahan kontrak dari KJRI dan apakah data KTKLN tidak bisa menunjukan dimana tempat tinggal BMI yang baru?

Pemilu bukan penentu perubahan kondisi buruh migran

Terlepas apapun kekecewaan saat Pemilu, kini kita hanya bisa menunggu hasilnya. Saya pribadi ingin mundur beberapa jangkah untuk melihat kembali pengalaman dari pemilu-pemilu sebelumnya. Bagi saya, yang ramai tetap diatas sementara yang dibawah tetap harus bergelut dengan kenyataan sehari-hari, biaya hidup yang terus melambung tinggi, upah yang semakin mengecil,  pelayanan publik yang semakin susah dijangkau.

Dalam hati saya masih bertanya, apa perbedaan pemilu tahun ini dengant tahun-tahun sebelumnya. Bagaimana pemilu kali ini akan merubah nasib rakyat?

Mari kita renungkan bersama dan tetap menyakini kepada diri kita bahwa sekecil apapun perubahan itu terjadi karena usaha tanpa kenal lelah dari diri kita. Mulai dari aksi turun ke jalan, dialog, lobby, mengirim statament, petisi tanda tangan dan terus memberikan informasi dan pendidikan pada buruh migran dan anggota keluarganya.

Hong Kong 7 Juli 2014