Sebelum kita membahas lebih jauh tentang
krisis demokrasi yang terjadi di Indonesia, di Hong Kong dan juga Negara-negara
lainnya, alangkah baiknya kita memahami arti dari demokrasi itu sendiri.
Menurut situs wikipedia, demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang semua warga negaranya memiliki hak setara dalam
pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka baik secara
ekonomi, sosial, politik dan budaya.
Demokrasi mengizinkan warga negara berpartisipasi baik secara langsung atau
melalui perwakilan dalam perumusan, pengembangan, dan pembuatan hukum atau kebijakan.
Pengertian diatas menegaskan partisipasi
rakyat secara langsung adalah kunci demokrasi. Disini dipercaya bahwa rakyat
berhak menentukan nasibnya sendiri melalui kebijakan yang diputuskan dan
perwakilan yang dipilih bersama. Demokrasi hanya eksis di negara-negara yang
merdeka, baik penuh maupun tidak penuh. Sedangkan di jaman penjajahan seperti
ketika Belanda menjajah Indonesia selama 350 tahun maka seluruh aturan dan
pejabat ditetapkan oleh pemerintahan kolonial Belanda.
Krisis demokrasi
Setelah revolusi
tahun 1945, mewujudkan masyarakat yang berkeadilan sosial menjadi dasar utama penegakan
demokrasi di Indonesia sebagai bangsa yang baru merdeka. Semangat ini juga
ditulis dengan tegas di dalam UUD 1945 dan Pancasila yang berbunyi “Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan”.
Artinya
kerakyatan adalah kekuasaan tertinggi dalam suatu bangsa dan rakyat atau
perwakilan yang dipilihnya harus dilibatkan dan ikut berpartisipasi dalam
merumuskan dan memutuskan sesuatu hal berdasarkan kehendak rakyat dengan cara
permusyawaratan sehingga mencapai mufakat. Dengan kata lain demokrasi adalah dari
rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Sejarah demokrasi di Indonesia sudah dimulai
sejak tahun 1955 ketika pemilihan umum (pemilu) pertama
dilaksanakan pada tahun 1955 memilih MPR dan Konstituante atau dewan pembuat
UUD. Pemilihan langsung juga termasuk ke tingkat kepala desa, anggota
DPRD dan DPR, walikota dan bahkan presiden di tahun 2004. Meski dalam
prosesnya, khususnya sejak 1965, pemilu di Indonesia hanya menjadi ajang
mencari kekuasaan para elit tanah air sedangkan rakyat hanya dijadikan objek
pemilih semata.
Sedangkan Hong Kong sebagai propinsi istimewa
China yang pernah dikuasai Inggris selama 100 tahun, Hong Kong menerapkan
sistem satu negara dua sistem. Pemilu di Hong Kong dilakukan pertama kalinya pada
tanggal 7 Maret 1956 namun dibatasi memilih anggota DPRD saja. Untuk jabatan gubernur,
kandidatnya ditentukan oleh pemerintah Cina pusat. Sekali lagi, di mata
masyarakat Hong Kong, para kandidat-kandidat tersebut termasuk gubernur terkhir
C.Y Leung sangat pro pembisnis dan mengesampingkan kepentingan rakyat Hong
Kong.
Itulah yang mendorong rakyat Hong Kong
menuntut adanya hak demokratis dengan memilih pemimpinnya sendiri, dimulai dari
gubernur. Namun hak ini ditolak pemerintah Cina dan pemilu boleh dilakukan pada
tahun 2017 tapi dengan syarat kandidatnya harus disahkan oleh pemerintah Cina.
Inilah yang membuat murka rakyat Hong Kong dan akhirnya turun ke jalan
menduduki pusat-pusat kota.
Jika rakyat Hong Kong masih belum menikmati
hak demokratis maka hak demokratis rakyat Indonesia digerogoti dan semangat partisipatifnya
dihilangkan untuk kepentingan tertentu.
Penyelewengan Demokrasi di
Indonesia
Maksud demokrasi yang diatur UUD 1945 dan
Pancasila telah diselewengkan. Pemilu hanya didominasi oleh kaum elit yang
memiliki modal dan berlomba untuk dipilih karena jabatan tersebut akan
mempermudah mereka memperkaya diri. Tidak heran ketika masa pemilu, para
pemodal menghamburkan uang demi membeli suara rakyat. Kecurangan dan manipulasi
menjadi praktek umum pemilu Indonesia.
Dominasi elit ini yang menyempitkan dan
mengecilkan penegakan demokrasi sesungguhnya di Indonesia. Rakyat bukan lagi
penentu tetapi objek pemilih. Tidak mengherankan jika banyak kebijakan
tidak menjawab kebutuhan rakyat tapi sebaliknya memperlancar kepentingan elit
dalam negeri yang bekerjasama dengan pemodal asing. Dari kacamata kepentingan
pemodal asing, Indonesia hanya digunakan sebagai negeri penyedia sumber bahan alam,
buruh murah dan pasar untuk barang yang mereka produksi.
Lalu bagaimana keadilan sosial bagi masyarakat
bisa direalisasikan jika demokrasi sejati dimana rakyat bisa memilih dan
dipilih tanpa embel-embel uang tidak bisa ditegakan di Indonesia?
Demokrasi sejati,
perjuangan yang masih panjang
Ruang demokratis yang masih sangat sempit ini
adalah hasil perjuangan rakyat melawan penjajah Belanda selama 350 tahun dan
kediktatoran orde baru Soeharto selama 32 tahun. Maka sudah jadi keharusan bagi
rakyat untuk mempertahankan dan terus memajukannya menuju demokrasi sejati yang
diinginkan.
Namun sekarang, ruang demokratis ini juga
terancam punah. Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono yang sangat setia kepada
pembisnis telah membuat berbagai kebijakan yang menghilangkan hak berekspresi
dan berorganisasi melalui Undang-Undang Organisasi Massa dan hak memilih pimpinan
daerah pemberangusan melalui Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).
Dalam demokrasi hari ini, wakil rakyat yang
dipilih langsung saja masih bisa melakukan pelanggaran dan mengingkari janji,
apa jadinya kalau semua pemimpin diputuskan oleh DPR?
Rakyat hanya akan jadi penonton melihat para
pejabat yang semakin menghamba pada pemodal asing yang memberinya uang
melimpah. Para pejabat tidak akan memiliki rasa bertanggungjawab kepada rakyat
karena mereka tidak dipilih oleh rakyat.
Pengesahaan UU Pilkada adalah bencana yang
akan mengawali penghancuran kedaulatan rakyat di bidang ekonomi, politik,
sosial dan budaya dan mengembalikan bangsa Indonesia menjadi negeri jajahan
seperti dulu. Siapa yang akan rugi? Sekali lagi mayoritas rakyat Indonesia.
Maka dari itu, buruh migran sebagai bagian
dari rakyat Indonesia juga berkewajiban untuk mempertahankan apa yang sudah
kita punyai. Kita harus bersatu dengan seluruh elemen rakyat yang mencintai
demokrasi untuk melawan setiap upaya perusakan demokrasi.
Bangsa kita kaya pengalaman sejarah
perjuangan. Semangat perlawanan mengusir penjajah Belanda dan penumbangan
Suharto melalui Gerakan Mei 1998 akan menjadi motivasi bagi kita untuk menghadapi
tindakan kekerasan elit Negara yang sedang memaksakan kehendaknya.
Sikap kaum elit yang menghalalkan segala cara
ini sebenarnya menunjukan kepada kita semua bahwa bangsa Indonesia sesungguhnya
belum benar-benar merdeka dan berdaulat.
Hong Kong 3 September 2014